Aturan Jalur PPDB Jakarta Bikin Riweh, Ini Suara Gue!

Sumber: CNN Indonesia

Okey biar ga lupa sama hari ini, gue mau tuangin di sini. Jadi, kemarin gue ikut berperan bantu adek gue buat masuk sekolah.

Untuk masuk sekolah di Jakarta khususnya, memang harus melewati adanya PPDB. Gue hari ini banyak bantu Adek sepupu gue yang mau masuk SMA, temen adek gue, dan tetangga yang mau masuk SMP.

Jalur PPDB kemarin dan hari ini adalah dengan afirmasi KIP&KJP. Beneran dah itu jalur bikin puyeng 7 keliling. Ribet pake banget.

Nah, gue pengen bahas background nya dulu dari adanya jalur KIP & KJP ini dari sudut pandang penjelasan bokap. Btw bokap gue itu guru, udah hampir 48 tahun yang udah banting tulang urusin penerimaan siswa seperti ini. Jadi Bokap gue emang selalu jadi sumber informasi gue perihal pendidikan sekolah

Selama gue hidup 22 tahun, otomatis bokap gue adalah sasaran utama orang sekitar rumah setiap ada penerimaan siswa baru. Bahkan, kalau bisa dibilang bokap gue udah rasain segala sistem penerimaan siswa model apapun.

Nah, untuk kemarin pertama kalinya gue liat bokap gue sebingung dan sefrustasi itu. Selama dia urusin PPDB gue gapernah tuh liat teledor atau gimanapun. Karena gue liat emang jalur PPDB tahun ini cukup banyak aturannya.

Jalur PPDB Jakarta 2022 memang punya banyak jalur, seperti jalur prestasi akademik&non akademik, jalur afirmasi (PIP&KJP, KJP Plus, Anak supir JakLingko), sampai ada jalur untuk anak yatim piatu dan disabilitas.

Overall pas gue denger info ini mengeluarkan pendapat gue bahwa cukup terbuka untuk semua kalangan. Karena memang menurut penjelasan bokap gue, tahun ini PPDB di Jakarta mempunya misi untuk menyamaratakan hak pendidikan untuk semuanya. 

Yes, gue rasa misi itu cukup berhasil dengan dibuatnya banyak jalur yang beragam tadi. Tapi apa sudah liat belum ke bawah seperti orang tua dan keluarga calon peserta didik sudah punya keahlian yang rata dalam hal PPDB digital ini??

Karena masih ditemukan banyak orangtua, keluarga peserta didik, ataupun peserta duduk gue cukup riweh dengan aturan yang melibatkan ini.

Riwehnya kenapa? Karena adanya jalur afirmasi dengan berbagai indikator yang terlalu banyak.

Indikator PPDB Jakarta Yang Bikin Riweh

Oke gue jelasin deh hasil analisis dari bokap gue. Sebenernya bokap juga gak terlalu paham, karena memang tidak ada di panduannya. Cuma bokap cuma lihat dari tabel yang tertera di setiap pendaftar PPDB sebagai hasil analisis dari bokap bahwa 4 kriteria yang terlihat itu menjadi indikatornya.

- Tabel pertama yang tertera adalah tabel afirmasi prioritas which is ini ternyata yang punya dua kartu sakti kalau kata Tante gue. Haha. Kartu sakit ini adalah bagi pendaftar PPDB Jakarta yang punya KJP + PIP.
 -Tabel kedua adalah jalur zonasi, nah ini ditentukan dengan lokasi KK pendaftar dengan sekolah tujuan.
-Tabel ketiga adalah prioritas pilihan sekolah pendaftar. Dimana setiap pendaftar bisa milih maksimal 3 sekolah pilihan
- Tabel keempat adalah waktu yang tertera, dimana ini waktu pendaftar saat daftar sekolah.

Gue dan keluarga gue sedikit merasa terdiskriminasi dari adanya indikator keempat. Memang kita baru menyadari bahwa jalur KIP dan KJP ini diperuntukan untuk dua pengguna aktif itu. Nah, kita baru sadar kalau adek sepupu gue PIP nya gak aktif. Alhasil dia jadi punya jalur afirmasi 2.

Oke gak masalah, karena kita baru menyadarinya itu pas hari daftar. Secara logika, kita mau dong ya coba coba lagi di sekolah lain dengan melihat dua indikator lainnya seperti jalur afirmasi 2 yang masih bisa masuk, dikaitin sama zonasi sepupu gue, dan kita mau tentuin pilihan sekolah agar ideal.

Nah, adanya indikator waktu dalam sistem daftar menjadi point membuat kita kendala dan nyerah untuk bisa coba daftar kembali. Kita merasa bahwa adanya indikator waktu pendaftaran ini cukup bikin terdiskrimiasi. 

Just information, dari pagi gue sama kembaran gue udah mulai gusrak gusruk karena mau bantu sodara sepupu gue yang mau masuk SMA. Kita berdua bingung, bahwa jalur afirmasi ini kan dikhususkan untuk yang punya PIP dan KJP. Tapi kenapa adanya waktu ini sangat berpengaruh. 

Bahkan bukan cuma untuk sepupu gue. Hari ini gue disibukan dengan pertanyaan dari ibu-ibu sekitar mengenai jalur ini. Which is pas pagi hari gue sama kembaran gue masih ngang ngong karena kita gak pernah cari tahu soal itu.

Singkat cerita, gue sama kembaran bingung kenapa ya adek sepupu kita gak ada namanya. Padahal udah di daftarin bokap sekitar pukul 09.40 an. Which is timingnya kita agak telat 1 jam setelah pukul 08.00 pas pembukaan pendaftaran awal.

Kita hanya tahu bahwa oh ada jalur KJP dan PIP yang bisa sepupu kita ikutin. Dikira indikator hanya itu, tanpa adanya zonasi ataupun waktu itu lagi.

Memang kita sadar bahwa adanya indikator waktu ini ada karena kasus ada zonasi wilayah dan prioritas pilihan sekolah ke berapa dari si pendaftar probabilitas bisa sama tinggi. Makanya dibuat adanya indikator waktu ini.

Okay, tapi ada kasus yang gue terima dari temennya Adek gue yang mau mendaftar terdiskriminasi dengan adanya hal itu. Padahal untuk kriteria indikator tabel 1, 2 sampai 3 nya dia udah kuat. Namun, karena telah mendaftar saja namanya gak sama sekali muncul di layar seleksi.

Hal ini yang bikin keluarga gue, termasuk bokap merasa tidak banget. Kalau pun hal probabilitas adanya yang milih sekolah bisa punya poin sama sudah dipotensikan dari awal, kenapa tidak dibuat aturan waktu pendaftaran khusus dari jam berapa sampai jam berapa.

Tidak adanya aturan yang ekplisit tentang waktu itu cukup membuat bokap gue juga tidak menyadari hal ini. Baru ketika gue sama kembaran gue komplain, dia menyadari hal itu bisa menjadi indikator.

Akar masalahnya disitu. Its okay sebenernya waktu, cuma kenapa dibuat bisa daftar 2 hari kalau ujungnya itu menjadi indikator. Padahal kan setiap orang punya timingnya sendiri buat bisa milih kapan daftar dan bisa kapan daftar, selama ada waktu yang ditentukan.

Masalah pemilihan indikator waktu yang menurut gue, bokap& keluarga gue sepakat buat bisa lebih baik diganti menjadi probabilitas yang punya angka pasti.

Misalnya dengan adanya kriteria umur ataupun nilai yang punya angka konstan, dengan koma yang cukup punya arti bisa kita pastikan. Sedangkan, kalau waktu cuma beda seper 0,0 aja gitu bisa ga fair.

Berangkat dari tujuan Jakarta dan Indonesia sendiri misalnya ingin meratakan pendidikan. Kenapa adanya indikator umur dan nilai yang which is itu udah diperkirakan dari setiap PPDB dihiraukan? 

Malah sistem waktu yang sebenernya bisa di setting buat diapus/diganti agar setara sesuai dengan aturan yang udah diterapkan yaitu misalnya untuk jalur PPDB KIP&KJP ini dua hari. 

Ya walaupun gue gabisa jelasin lebih soal ini karena gue bukan anak IT. Tapi menurut gue sih bisa pake koding-kodingan yang udah tersistematis.

Kalaupun mau pake waktu, ya itu dibuat aturan sendiri gitu loh buat aja dalam sehari daftar atau 2 jam buat masa pendaftaran aja. 

Tapi personally gue sama bokap lebih setuju diganti sama nilai pendaftar sih dibanding umur sama waktu yang jadi indikator. Karena gini, kalau kita lihat dari segi umur, itu malah menutupi diskriminasi yang ada akan hak manusia untuk hidup.

Maksud gue adalah emang kita bisa milih buat lahir di bulan apa, di tanggal berapa? Itu kan tidak adil menurut gue. Lebih kita pikir panjangnya adalah bisa dengan nilai yang lebih logis.

Keriwehan lainnya adalah adanya aturan zonasi sekolah yang masyaallah itu susah banget diprediksinya. Bahkan pihak sekolah juga pusing buat memetakan sekolahnya dengan kondisi geografis tempat tinggal pendaftar.

Okey, mungkin masalah indikator waktu  kembali ke masalah sistem. Tapi itu bisa besar untuk orang yang udah daftar cuma karena waktu dia sama sekali gak bisa bersaing.

Lalu apakah penerapan indikator waktu dan zonasi yang digaungkan oleh Digitalisasi PPPD semuanya By Sistem sudah cukup punya aturan yang friendly dengan digital?

PPDB Digital: Apa Aturan Udah Friendly Digital?

Gue merasakan bahwa sistem PPDB Jakarta memang sudah lama mulai bergeser dengan digital. Sudah banyak model PPDB by sistem robot oleh Jakarta.

Identitas PPDB tahun ini kembali ingin membranding adanya digital untuk setiap prosesnya. Saah satunya adalah penggunaan input nilai Siswa dengan DANIRA oleh pihak sekolah melalui berbagai tahap persetujuan bersama di lingkup sekolah. 

Adanya aturan sistem yang memasukan indikator waktu pendaftaran pastinya juga sudah melewati penyeleksian aturan oleh pihak penyelenggara PPDB Jakarta yang juga sangat merepresentasikan PPDB yang Digital. 

Tapi keduanya cukup terlihat pengimplementasiannya yang berbeda. Gue temukan adanya sistem DANIRA ini sudah melalui pengaturan oleh pihak sekolah peserta didik. 

Which is pihak sekolah udah melakukan rapat bersama buat bikin nilai yang seadil-adilnya. Karena gue yakin pihak sekolah lah yang tahu bagaimana kondisi peserta didik itu sehingga memberikan nilai untuk mereka. Sedangkan untuk aturan waktu, apakah itu sudah beneran diatur menjadi poin tersendiri yang jelas?

Sedikit gue mau mengkritis perihal aturan DANIRA ini yang menurut gue cukup lebih logis dibandingkan adanya sistem umur yang mungkin pernah diterapkan oleh Jakarta. Walaupun sekarang tidak berpengaruh untuk jalur afirmasi Jakarta, cuma gue gatel mau ngomong ini aja. Karena gue harap ini gak dipakai untuk indikator di jalur zonasi depannya.

Menurut gue itu adanya hasil DANIRA yang di input sekolah sudah hasil dari perembukan pihak sekolah dalam memilih dan menilai anak didik mereka dengan seadil-adilnya dan sesuai kenyataan yang ada. Pihak sekolah yang mengetahui bagaimana siswa ketika bertahun-tahun sekolah. 

Sehingga menurut gue hasil DANIRA udah mengakomodir hak priogratif sekolah. Gue gapernah suudzon sama pihak sekolah, karena gue optimis bahwa guru dan pihak sekolah pasti lewat rapat buat menentukan nilai-nilai ke anak didiknya. Menurut gue hasil diskusi sekolah lebih logis buat menilai anak daripada dengan usia yang kita aja gabisa milih gitu loh.

Balik lagi kalau kita kaitin sama sistem pendidikan yang mau meratakan segala usia. Okelah, tapi kenapa itu tidak dipake untuk jadi indikator? Malah dipake dengan berpacu waktu yang gak punya aturan jelas itu sedari awal. Padahal menurut gue, itu bisa jadi masalah yang bisa dideteksi sejak dini oleh penyelanggara PPDB yang bisa jadi pointer dibuat aturan tersendiri.

Kritikan kedua gue adalah keriwehan kedua yang gue jelasin di atas sebelumnya tentang aturan zonasi PPDB. Jadi gini, menurut gue okay okay gitu ada aturan kaya gitu. Karena mungkin emang adanya tujuan buat bisa mempermudah siswa sekolah di deket rumah.

Namun gini, penyosialisasian geografis hal seperti itu cukup sulit untuk bisa dimengerti oleh orang tua. Penjelasan yang tidak efisien membuat banyak orang tua yang kelimpungan karena juga punya keterbatasan dengan digitalisasi.

Bahkan, kita yang paham sama digitalisasi aja bingung buat dapetin hal itu darimana. Gini, kalau dari awal pemerintah pingin mendigitalkan PPDB misalnya dengan sudah adanya DANIRA kenapa informasi soal peta geografis sekolah di Jakarta aja belum siap?

Hal itu balik lagi kaitannya sama sistem waktu sistem, yang menurut gue itu udah bisa terdeteksi dari awal persiapan. Sebaiknya bisa juga sih dibuat peta geografis sendiri pake digital gitu yang bisa diakses dengan satu website oleh calon pendaftar PPDB.

Cukup keos sih dengan sistem waktu dan zonasi yang bikin terdiskriminasi bagi pendaftar di afirmasi. Melelahkan? Sangat bagi keluarga dan orangtua. 

Gue seneng sebenernya dari sistem PPDB websitenya sangat lancar dan tidak ada gangguan apapun. Berarti tim IT dari PPDB sudah berhasil menampung website agar tidak error buat dibuka oleh banyak orang. 

Berarti menandakan bahwa aturan PPDB  semuanya sudah ingin bertujuan dengan digital. Tapi pemerintah juga perlu memahami bahwa aturan yang dibuat masih belum friendly dengan pengadaptasian masalah digitalisasi itu sendiri. 

Dari mulai peta geografis zonasi sekolah yang belum terintegrasi dengan digital, bisa dilihat dari masih banyaknya peserta didik dan orang tua yang bingung buat dapetin wilayah zona mereka dari mana. 

Baru bisa terlihat ketika saat mendaftar saja, namun tidak disosialisasikan dari sebelum daftar. Itu yang salah, membuat banyak orang tua yang gak siap/tidak menentukan pilihan sekolah mereka yang tepat. 

Gue sadar sih memang masih ada beberapa penerimaan sosialisasi PPDB dari orangtua yang gak lengkap dipahami menjadi faktor utama dari keriwehan yang dialami orang tua. Kita memang masih punya pekerjaan rumah bersama untuk menghadapi pihak-pihak misalnya orang tua ataupun peserta didik yang masih istilahnya gaptek.

Tapi kalau kita telusuri lebih lanjut, aturan PPDB yang Jakarta juga cukup tidak mengatasi masalah digital yang akan berpotensi keos. Seperti hari ini yang gue dan keluarga gue alamin. 

Jalur KJP dan PIP Jakarta, Ternyata Penerima Bantuan Pendidikan Bagi Warga Jakarta Sangat Besar

Oh iya mungkin gue cukup greget juga sih dengan indikator pertama yang penerima KJP saja tidak bisa masuk seleksi PPDB. Dari hal ini gue menemukan case bahwa, ternyata bagi masyarakat Jakarta yang ingin sekolah literally beneran dibayarin sama pemerintah. 

Bisa dilihat dari Prioritas Afirmasi 1 yang bertengger di setiap sekolah Jakarta. Hal ini menandakan bahwa ternyata warga Jakarta sebenernya cukup dibantu untuk pemberian uang pendidikan karena bukan cuma dapet KJP tapi juga bisa dapet PIP.

Dapat dikatakan bahwa sekarang orang Jakarta sebetulnya tidak perlu takut dengan biaya pendidikan. Pengoperasian adanya bantuan KJP dan KIP cukup membantu.

Nah, ini gue suka sebenernya. Jakarta dan sistem pendidikan di Indonesia sudah mengakomodir rakyat miskin. Mungkin memang harus dikritisi kembali apakah penyalurannya sudah tepat sasaran? Itu yang masih menjadi pertanyaan banyak ditemukan mereka penerima bantuan pendidikan punya lifestyle orang mampu.

Kemudian adanya jalur KIP dan KJP ini memang diprioritaskan untuk peserta didik yang terkendala biaya pendidikan. 
Namun, Ihwal bantuan pendidikan ini untuk kedepannya apakah bukan menjadi sesuatu yang boros dilakukan? 

Kedua pertanyaan ini yang gue tanyakan akhir akhir ini. Gini, memang pemberian bantuan pendidikan ini sangatlah mulia dilakukan pemerintah. Namun menurut gue juga harus adanya penyeimbangan akan prioritas nilai yang didapatkan oleh peserta didik. 

Yap gue menyadari bahwa sekarang ini Kemendikbud sedang gencar untuk menerapkan Merdeka Belajar, oleh karenanya aturan zonasi, KIP KJP, umur dibuat. 

Namun, gue lebih setuju bahwa aturan sistem KIP dan KJP ini juga dibarengi dengan nilai peserta didik yang bisa mendukung kualitas dari peserta didik ke depannya. 

Memang, orientasi sekolah tidak hanya semata dengan nilai. Namun dengan nilai setiap peserta didik bisa berpacu untuk mendukung kualitas usaha belajar mereka.

Gue lebih sreg indikator nilai bisa diiringi dengan indikator KIP/KJP dan zonasi yang bisa menyempurnakan kualitas peserta didik itu sendiri kedepannya.

Secara logika, bantuan pemerintah untuk pendidikan bisa juga mencetak semangat siswa untuk belajar dan berkembang di sekolah. Bukan cuma investasi pemberian bantuan pendidikan semata.

Beda lagi gue gak cerita soal Merdeka Belajar yang bisa berpotensi mencetak investasi orientasi nilai untuk kebutuhan industri ya. Sebagai mahasiswa gue juga percaya bahwa sebenernya nilai bukan menjadi hal penting dalam menghadapi dunia kerja. Tapi skill dan kemampuan yang harus dimiliki.

Namun gue cuma mau memberikan wacana bahwa perlu adanya penyeimbangan antara pemberian bantuan pendidikan dengan kualitas peserta didik juga yang telah melewati proses penilaian oleh pihak sekolah lewat DANIRA tadi. Maksudnya DANIRA itu kan juga bukan cuma soal akademik, tapi juga dilihat dari segi non akademik proses berpikir siswa dan perilaku siswa selama bersekolah.

Begitu aja sih yang mau gue sampaikan. Sekian, dari aku yang anak seorang guru ingin rasanya sekali bisa bersuara soal pendidikan. Hehe.

#PPDBJakarta #PPDBRiweh #MerdekaBelajar #OpiniPendidikan 


Postingan Populer