Setelah bertahun-tahun dipendam, ternyata masih menjadi bekas-bekas emosi?
Hallo gaisss.
Tiba-tiba aja ketika gue lagi cerita-cerita dengan Tante gue perihal seorang guru yang berbicara dengan kata-kata yang bisa membuat hati anak muridnya bisa tersindir. Oke maksud gue disini, Tante gue cerita bahwa dia pernah mendengar guru anaknya berbicara kepada anak muridnya. Bahwa si guru ini membicarakan soal si muridnya dimana dia adalah teman dari anak tante gue.
Si guru ini mengumpat kepada anak muridnya tersebut dengan bahasa yang menurut cerita Tante gue menyindir yakni 'Kamu kok bisa dapat KJP, tapi kakak kamu kuliah'.
Awalnya seolah-olah gue tidak menggubris penuh, hanya saja respon gue adalah setuju dengan ucapan Tante gue tentang penggambaran guru ini yang emang berasal dari orang timur. Oke, gue setuju. Memang yang gue tahu cara komunikasi orang timur adalah to the point.
Namun hanya saja, setelah gue pikir-pikir. Gue mengutarakan kepada Tante gue, bahwa namanya Pendidikan tidak seolah-olah dibatasin ruang geraknya hanya dengan sebuah bantuan biaya pendidikan bernama 'kjp'.
Tapi gue tidak mau bahas soal itu. Yang mau gue bahas adalah seputar, seorang guru yang terkadang beberapa menggunakan cara berkomunikasi dengan murid dengan bahasa-bahasa verbal yang sebenarnya sangat bisa membekas di hati seorang anak.
Apa sih kaitannya sama judul? Mungkin dengan cerita ini kalian bisa paham pesan tersurat yang ingin gue sampaikan setelah membaca blog ini.
Disini pasti kalian pernah mendapatkan bahasa verbal dari guru kalian yang paling membekas? Atau cerita saat kalian sekolah dengan guru kalian, yang sama sekali tidak mengenakan?
Yap! Hal tidak mengenakan dengan guru gue saat SMP pernah sangat amat membekas hingga hari ini. Bahkan, gue utarakan cerita gue ini ke Tante gue juga masih merasakan bagaimana emosionalnya gue saat itu.
Oke jadi ceritanya saat gue SMP, kejadian ini ketika gue lagi mengerjakan soal Ujian Akhir Semester (UAS). Saat itu guru IPA gue keliling ke ruangan-ruangan, termasuk ruangan gue.
Gue ingat betul kejadian tersebut. Saat itu, guru IPA gue keliling melihat anak-anak di ruangan gue. Termasuk gue.
Guru IPA ini datang ke meja gue, dan dia melihat gue sedang menulis di sebuah kertas yang gue sering bawa saat ujian untuk coret-coret menghitung dan juga menuliskan soal ujian serta jawaban.
Hal itu merupakan cara gue ketika sedang ujian, untuk setelah dirumah bertanya ke bokap.
Kemudian guru IPA gue itu salah paham, dia mengira bahwa gue menggunakan kertas tersebut untuk menyontek dan menuliskan kunci jawaban. Karena memang saat itu gue sudah menuliskan jawaban gue.
Tapi sejujurnya memang, itu kebiasaan gue saat ujian yang menuliskan hal tersebut. Dan saat itu gue applikasikan cara gue tersebut. Tak berapa lama kemudian, gue diomelin olehnya. Padahal saat itu, gue terpegok tidak sedang memberikan kertas tersebut ke temen gue. Atau sedang gusrak-gasruk mencari jawaban.
Yang gue masih sangat ingat, kejadian tersebut sangat amat lama. Karena guru IPA gue ini memarahi gue dengan nada sangat tinggi dan seolah-olah menjadikan gue anak berandal.
Karena kejadian itu udah bertahun-tahun lalu, gue memang tidak ingat apa yang dia katakan saat gue sedang diomeli. Tetapi yang masih sangat gue ingat adalah, kejadian itu berlangsung lama bahkan sampai pengawas saat itu tidak bisa berkutik. Gue ingat betul dia memarahi gue tanpa pernah memberikan kesempatan gue menjelaskan, bahkan gue menjadi amat bungkam disitu.
Saat itu pengawas gue adalah guru bahasa Inggris yang memang kenal dengan saudara gue. Akhirnya, dengan bantuannya membuat guru IPA gue ini berhenti memarahi gue. Dan menyuruh gue ke ruang Bimbingan Konseling (BK) sehabis ujian.
Disitu teringat betul, gue cuma bisa menangis. Tetapi karena pengawas gue saat itu, guru bahasa Inggris gue menenangkan akhirnya gue beranikan diri buat menemui guru IPA gue ini di ruang BK dengan ditemani olehnya.
Saat memasuki ruang BK yang masih gue ingat. Gue masih menangis. Bahkan kondisi gue saat itu sangat amat takut. Karena yang gue rasakan adalah, gue takut dengan guru itu dan sangat amat malu dengan kejadian tersebut yang ditonton oleh seisi ruangan.
Yang gue ingat, guru IPA gue itu menjelaskan bahwa yang gue lakukan salah. Karena membawa kertas saat ujian. Gue menjelaskan, masih dengan menangis. Karena jujur aja, yang gue ingat sampai sekarang hanya kesedihan dan rasa tidak bersalah gue yang besar. Karena memang gue merasa, gue tidak salah dan tidak menyontek seperti yang guru tersebut kira. Tapi itu semua tidak bisa gue utarakan.
Namun dengan bantuan guru BK dan bahasa Inggris gue itu, akhirnya gue menceritakan niat gue membawa kertas. Namun, gue udah lupa situasinya seperti apa saat itu. Yang jelas, gue cuma ingat berkali-kali gue mengatakan maaf kepada guru gue itu.
Oke yang mau gue higlight di cerita gue ini adalah tentang bahasa verbal seorang guru yang terkadang bisa membekas kepada muridnya. Baik itu ucapan-ucapan positif seperti semangat atau motivasi, hingga ucapan-ucapan negatif yang secara tidak sengaja terucap seperti umpatan, kata menyindir, ataupun amarah yang diberikan.
Kasus yang gue alami adalah perilaku guru kepada gue yang amat pilu. Anjay. Dan hal itu terjadi pada gue yang masih belia, yakni umur-umur anak SMP yang masih belum memiliki kontrol kendali emosi dan pikirannya.
Kejadian yang gue alami itu adalah ucapan verbal dan non verbal dari seseorang kepada gue yang membuat gue amat terpuruk saat itu. Bahkan sampai gue menjadi takut untuk bertemu dengan orang tersebut.
Opini gue adalah, apakah cara mendidik seorang guru kepada anak murid yang masih perlu dibina patut seperti itu?
Disini seharusnya cara mendidik harus menghilangkan budaya-budaya atau latar belakang kebiasaan kita. Mungkin kalau kejadian gue dimarahi dan diomelin di depan temen-temen gue saat ujian terjadi sekarang, gue masih tetap akan diam dan mendengarkan ceramah orang lain yang sedang menilai perbuatan gue tanpa harus menunjukkan gue menangis.
Hal itu berartikan bahwa, dari pengalaman itu gue belajar bahwa seorang anak remaja dengan segudang psikologis yang masih belum terkontrol sebaiknya perlakukan lah dengan mengajak secara diskusi.
Buat diskusi dengan situasi yang tidak mencekam, atau boleh menegur tetapi dengan tidak mempermalukannya.
Karena gue belajar bahwa setiap cerita masa muda seseorang, akan terus menjadi bekas. Cerita ini yang pastinya kalau tidak yang paling bisa buat bahagia ataupun yang membuat sangat sedih.
Gue akuin bahwa disitu gue bisa menerima gue disalahkan. Namun hanya saja, yang gue sayangkan adalah cara menegur guru yang seharusnya tidak seperti itu.
Setiap orang pasti khilaf atau tidak berpikir panjang terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu. Gue tidak anti kritik dari orang lain terhadap diri gue. Mungkin kalau situasi itu terjadi lagi sekarang, gue masih bisa mengontrol emosi yang bisa gue tunjukkan.
Misalnya saat gue menjelaskan di ruang BK, gue bisa jelasin itu tanpa menangis dan merasa tertekan. Karena memang gue tidak merasa bersalah. Bahkan kalau bisa berdebat, gue bisa lakuin itu.
Ya pokoknya intinya adalah gue percaya bahwa ucapan verbal dan non verbal seseorang itu sangat amat berpengaruh pada orang lain.
Setiap kata atau ucapan tidak baik, seperti yang guru gue lakukan merupakan bentuk sebuah jalan cerita menuju kedewasaan gue.
Jagalah ucapan kalian, karena sejatinya respon setiap orang itu berbeda. Bisa saja ada orang dengan mental yang tidak kuat dalam menerima kritikan, bisa amat terpuruk. Bahkan di usia gue yang jauh lebih matang dari usia kejadian tersebut masih merasakan itu.
Tapi akankah kalian menyadari bahwa ucapan kita itu bisa aja loh menyakiti orang lain? Bahkan perlu bertahun-tahun untuk memulihkan itu. Termasuk gue, yang sampai hari ini setelah 5 tahun lamanya ternyata saat menceritakan kisah itu lagi gue masih bisa amat emosional.
Berartikan gue masih marah dan terpuruk melalui kejadian itu. Namun, gue bersyukur masih punya orang-orang sekitar yang supportif walaupun gue tidak cerita ke orang tua secara langsung.
Tapi kalau kita putar, misalnya kejadian itu terjadi pada orang lain yang selalu merasa sendiri. Apakah orang lain itu masih bisa bertahan? Mungkin kalau gue punya mental yang tidak kuat, sekarang gue bisa aja melakukan hal-hal yang buruk.
Ya gue gak cerita sama orang tua gue bukan berarti karena gue takut salah. Karena gue tidak mau aja, lihat gue nangis di sekolah dan emang kejadian itu terjadi begitu aja.
Mungkin kalau kejadian itu tidak terjadi, gue tidak bisa menjelaskan perasaan gue sekarang ini di blog ini. Atau menyuarakan opini gue tentang ini.
Gue berterima kasih pada diri gue, karena
pernah mengalami masalah ini dan masih bisa bertahan. Walaupun memendam hal itu sendiri selama bertahun-tahun. Tidak apa, karena gue jadikan diri gue ini sebagai eskperimen untuk jalan hidup gue.
Okee sekian deh, selamat malam untuk kita semua orang-orang baik yang selalu senantiasa berterima kasih pada diri kita sendiri🙏🥰
Tiba-tiba aja ketika gue lagi cerita-cerita dengan Tante gue perihal seorang guru yang berbicara dengan kata-kata yang bisa membuat hati anak muridnya bisa tersindir. Oke maksud gue disini, Tante gue cerita bahwa dia pernah mendengar guru anaknya berbicara kepada anak muridnya. Bahwa si guru ini membicarakan soal si muridnya dimana dia adalah teman dari anak tante gue.
Si guru ini mengumpat kepada anak muridnya tersebut dengan bahasa yang menurut cerita Tante gue menyindir yakni 'Kamu kok bisa dapat KJP, tapi kakak kamu kuliah'.
Awalnya seolah-olah gue tidak menggubris penuh, hanya saja respon gue adalah setuju dengan ucapan Tante gue tentang penggambaran guru ini yang emang berasal dari orang timur. Oke, gue setuju. Memang yang gue tahu cara komunikasi orang timur adalah to the point.
Namun hanya saja, setelah gue pikir-pikir. Gue mengutarakan kepada Tante gue, bahwa namanya Pendidikan tidak seolah-olah dibatasin ruang geraknya hanya dengan sebuah bantuan biaya pendidikan bernama 'kjp'.
Tapi gue tidak mau bahas soal itu. Yang mau gue bahas adalah seputar, seorang guru yang terkadang beberapa menggunakan cara berkomunikasi dengan murid dengan bahasa-bahasa verbal yang sebenarnya sangat bisa membekas di hati seorang anak.
Apa sih kaitannya sama judul? Mungkin dengan cerita ini kalian bisa paham pesan tersurat yang ingin gue sampaikan setelah membaca blog ini.
Disini pasti kalian pernah mendapatkan bahasa verbal dari guru kalian yang paling membekas? Atau cerita saat kalian sekolah dengan guru kalian, yang sama sekali tidak mengenakan?
Yap! Hal tidak mengenakan dengan guru gue saat SMP pernah sangat amat membekas hingga hari ini. Bahkan, gue utarakan cerita gue ini ke Tante gue juga masih merasakan bagaimana emosionalnya gue saat itu.
Oke jadi ceritanya saat gue SMP, kejadian ini ketika gue lagi mengerjakan soal Ujian Akhir Semester (UAS). Saat itu guru IPA gue keliling ke ruangan-ruangan, termasuk ruangan gue.
Gue ingat betul kejadian tersebut. Saat itu, guru IPA gue keliling melihat anak-anak di ruangan gue. Termasuk gue.
Guru IPA ini datang ke meja gue, dan dia melihat gue sedang menulis di sebuah kertas yang gue sering bawa saat ujian untuk coret-coret menghitung dan juga menuliskan soal ujian serta jawaban.
Hal itu merupakan cara gue ketika sedang ujian, untuk setelah dirumah bertanya ke bokap.
Kemudian guru IPA gue itu salah paham, dia mengira bahwa gue menggunakan kertas tersebut untuk menyontek dan menuliskan kunci jawaban. Karena memang saat itu gue sudah menuliskan jawaban gue.
Tapi sejujurnya memang, itu kebiasaan gue saat ujian yang menuliskan hal tersebut. Dan saat itu gue applikasikan cara gue tersebut. Tak berapa lama kemudian, gue diomelin olehnya. Padahal saat itu, gue terpegok tidak sedang memberikan kertas tersebut ke temen gue. Atau sedang gusrak-gasruk mencari jawaban.
Yang gue masih sangat ingat, kejadian tersebut sangat amat lama. Karena guru IPA gue ini memarahi gue dengan nada sangat tinggi dan seolah-olah menjadikan gue anak berandal.
Karena kejadian itu udah bertahun-tahun lalu, gue memang tidak ingat apa yang dia katakan saat gue sedang diomeli. Tetapi yang masih sangat gue ingat adalah, kejadian itu berlangsung lama bahkan sampai pengawas saat itu tidak bisa berkutik. Gue ingat betul dia memarahi gue tanpa pernah memberikan kesempatan gue menjelaskan, bahkan gue menjadi amat bungkam disitu.
Saat itu pengawas gue adalah guru bahasa Inggris yang memang kenal dengan saudara gue. Akhirnya, dengan bantuannya membuat guru IPA gue ini berhenti memarahi gue. Dan menyuruh gue ke ruang Bimbingan Konseling (BK) sehabis ujian.
Disitu teringat betul, gue cuma bisa menangis. Tetapi karena pengawas gue saat itu, guru bahasa Inggris gue menenangkan akhirnya gue beranikan diri buat menemui guru IPA gue ini di ruang BK dengan ditemani olehnya.
Saat memasuki ruang BK yang masih gue ingat. Gue masih menangis. Bahkan kondisi gue saat itu sangat amat takut. Karena yang gue rasakan adalah, gue takut dengan guru itu dan sangat amat malu dengan kejadian tersebut yang ditonton oleh seisi ruangan.
Yang gue ingat, guru IPA gue itu menjelaskan bahwa yang gue lakukan salah. Karena membawa kertas saat ujian. Gue menjelaskan, masih dengan menangis. Karena jujur aja, yang gue ingat sampai sekarang hanya kesedihan dan rasa tidak bersalah gue yang besar. Karena memang gue merasa, gue tidak salah dan tidak menyontek seperti yang guru tersebut kira. Tapi itu semua tidak bisa gue utarakan.
Namun dengan bantuan guru BK dan bahasa Inggris gue itu, akhirnya gue menceritakan niat gue membawa kertas. Namun, gue udah lupa situasinya seperti apa saat itu. Yang jelas, gue cuma ingat berkali-kali gue mengatakan maaf kepada guru gue itu.
Oke yang mau gue higlight di cerita gue ini adalah tentang bahasa verbal seorang guru yang terkadang bisa membekas kepada muridnya. Baik itu ucapan-ucapan positif seperti semangat atau motivasi, hingga ucapan-ucapan negatif yang secara tidak sengaja terucap seperti umpatan, kata menyindir, ataupun amarah yang diberikan.
Kasus yang gue alami adalah perilaku guru kepada gue yang amat pilu. Anjay. Dan hal itu terjadi pada gue yang masih belia, yakni umur-umur anak SMP yang masih belum memiliki kontrol kendali emosi dan pikirannya.
Kejadian yang gue alami itu adalah ucapan verbal dan non verbal dari seseorang kepada gue yang membuat gue amat terpuruk saat itu. Bahkan sampai gue menjadi takut untuk bertemu dengan orang tersebut.
Opini gue adalah, apakah cara mendidik seorang guru kepada anak murid yang masih perlu dibina patut seperti itu?
Disini seharusnya cara mendidik harus menghilangkan budaya-budaya atau latar belakang kebiasaan kita. Mungkin kalau kejadian gue dimarahi dan diomelin di depan temen-temen gue saat ujian terjadi sekarang, gue masih tetap akan diam dan mendengarkan ceramah orang lain yang sedang menilai perbuatan gue tanpa harus menunjukkan gue menangis.
Hal itu berartikan bahwa, dari pengalaman itu gue belajar bahwa seorang anak remaja dengan segudang psikologis yang masih belum terkontrol sebaiknya perlakukan lah dengan mengajak secara diskusi.
Buat diskusi dengan situasi yang tidak mencekam, atau boleh menegur tetapi dengan tidak mempermalukannya.
Karena gue belajar bahwa setiap cerita masa muda seseorang, akan terus menjadi bekas. Cerita ini yang pastinya kalau tidak yang paling bisa buat bahagia ataupun yang membuat sangat sedih.
Gue akuin bahwa disitu gue bisa menerima gue disalahkan. Namun hanya saja, yang gue sayangkan adalah cara menegur guru yang seharusnya tidak seperti itu.
Setiap orang pasti khilaf atau tidak berpikir panjang terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu. Gue tidak anti kritik dari orang lain terhadap diri gue. Mungkin kalau situasi itu terjadi lagi sekarang, gue masih bisa mengontrol emosi yang bisa gue tunjukkan.
Misalnya saat gue menjelaskan di ruang BK, gue bisa jelasin itu tanpa menangis dan merasa tertekan. Karena memang gue tidak merasa bersalah. Bahkan kalau bisa berdebat, gue bisa lakuin itu.
Ya pokoknya intinya adalah gue percaya bahwa ucapan verbal dan non verbal seseorang itu sangat amat berpengaruh pada orang lain.
Setiap kata atau ucapan tidak baik, seperti yang guru gue lakukan merupakan bentuk sebuah jalan cerita menuju kedewasaan gue.
Jagalah ucapan kalian, karena sejatinya respon setiap orang itu berbeda. Bisa saja ada orang dengan mental yang tidak kuat dalam menerima kritikan, bisa amat terpuruk. Bahkan di usia gue yang jauh lebih matang dari usia kejadian tersebut masih merasakan itu.
Tapi akankah kalian menyadari bahwa ucapan kita itu bisa aja loh menyakiti orang lain? Bahkan perlu bertahun-tahun untuk memulihkan itu. Termasuk gue, yang sampai hari ini setelah 5 tahun lamanya ternyata saat menceritakan kisah itu lagi gue masih bisa amat emosional.
Berartikan gue masih marah dan terpuruk melalui kejadian itu. Namun, gue bersyukur masih punya orang-orang sekitar yang supportif walaupun gue tidak cerita ke orang tua secara langsung.
Tapi kalau kita putar, misalnya kejadian itu terjadi pada orang lain yang selalu merasa sendiri. Apakah orang lain itu masih bisa bertahan? Mungkin kalau gue punya mental yang tidak kuat, sekarang gue bisa aja melakukan hal-hal yang buruk.
Ya gue gak cerita sama orang tua gue bukan berarti karena gue takut salah. Karena gue tidak mau aja, lihat gue nangis di sekolah dan emang kejadian itu terjadi begitu aja.
Mungkin kalau kejadian itu tidak terjadi, gue tidak bisa menjelaskan perasaan gue sekarang ini di blog ini. Atau menyuarakan opini gue tentang ini.
Gue berterima kasih pada diri gue, karena
pernah mengalami masalah ini dan masih bisa bertahan. Walaupun memendam hal itu sendiri selama bertahun-tahun. Tidak apa, karena gue jadikan diri gue ini sebagai eskperimen untuk jalan hidup gue.
Okee sekian deh, selamat malam untuk kita semua orang-orang baik yang selalu senantiasa berterima kasih pada diri kita sendiri🙏🥰