RESENSI BUKU


Judul buku           : Pertarungan Wacana Tubuh Perempuan Dalam Media

Pengarang           : Tri Hastuti Nur Rochimah

Penerbit               : Buku Litera Yogyakarta

Tahun Terbit        : 2018, Cetakan Pertama

Jumlah Halaman  : 240 halaman

Ukuran Buku        : 15,5 x 23,5 cm

ISBN                    : 978-602-6751-99-7

Pertarungan Wacana Tentang UU Pornografi

Adanya proses penyusunan undang-undang terkait pornografi mulai diusulkan sejak tahun 1996 pada masa pemerintahan Megawati. Hal ini mengundang wacana publik tentang tubuh perempuan yang tercantum dalam proses penyusunan undang-undang ini sehingga menjadi salah satu peristiwa tonggak ramainya perbincangan tentang tubuh perempuan dalam perspektif individu maupun moralitas tubuh.

Kontroversi terjadi dalam proses penyusunan undang-undang yang kemudian disebut dengan undang-undang pornografi dan pornoaksi ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan telah menjadi arena perebutan kekuasaan dan menunjukkan bagaimana tubuh perempuan diberlakukan.

Representasi selalu melibatkan konstruksi atas realitas. Media membangun wacana atas tubuh perempuan melalui berbagai opini dari pihak oposisi diwakilkan melalui media harian kompas dan pihak pro melalui media harian republika terkait Undang-Undang Pornografi ini.

Tubuh Dan Seksualitas Perempuan Sebagai Moralitas Bangsa

Adanya Rancangan Undang-Undang Pornografi yang diberlakukan pada masa pemerintahan Megawati, berdasarkan teks-teks dalam harian republika menggambarkan bahwa tubuh dan seksualitas perempuan diatur oleh negara dalam bingkai moralitas. 

Negara menjadi pendukung utama untuk menggambarkan tubuh perempuan dan seksualitasnya sebagai penjaga dari sebuah moralitas dalam negara. Pengaturan moralitas di negara Indonesia yang dimasukkan dalam kebijakan formal yakni dalam Undang-Undang Pornografi ini menambah penjelasan bahwapengaturan tubuh terkait moralitas ini justru akan menimbulkan konflik horizontal yang bisa kapan saja pecah.

Dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia, pengaturan moralitas tubuh melalui pengesahan undang-undang pornografi akan menyisakan masalah. Ketika negara seharusnya menjadi lembaga politik dengan berkepentingan mengelola norma hukum yang adil justru dengan adanya dasar penyusunan undang-undang ini negara menjadi lembaga moral apalagi jika didasarkan pada nilai agama tertentu (hal. 50).

Standarisasi sebagai penjaga moralitas bangsa muncul baik dalam budaya di dalam masyarakat maupun dalam bentuk konvensi, aturan atau kebijakan, yang dibuat oleh institusi agama dan negara kemudian dikonsestasikan oleh mereka.

Moralitas selalu dikatikan dengan agama seperti adanya "Perintah untuk menutup aurat", "Membuat jarak dengan laki-laki yang bukan mahram" menambah narasi untuk menjaga kaum perempuan menjadi kian mendiskriminasikan posisi perempuan yang seolah selalu dibawakan sebagai "Ibu" dengan peran menjaga moral anaknya. Wacana ini digambarkan melalui Harian Republika, dengan banyaknya opini dari penulis yang berasal dari agama-agama konservatif.

Hak Otonomi Tubuh Perempuan

Narasi besar gerakan perempuan dalam merespon adanya undang-undang pornografi ini dibawa oleh transformasi dari salah satu perjuangan feminis dalam masyarakat. Dalam sejarahnya negara tidak ramah pada perempuan, tidak perduli bahkan perempuan dijadikan objek oleh negara. Harian Kompas mewakilkan pihak-pihak yang menjaga pluralisme Indonesia, dengan mengcounter beberapa organisasi anti diskriminasi terhadap perempuan seperti Komnas Perempuan.

Beberapa pihak yang kontra terhadap RUU Pornografi ini mewacanakan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam kontruksi sosial dan budaya dianggap tabu untuk memperbincangkan seksuatlitas, sehingga perempuan tidak boleh permisif atas seksualitasnya dan menjaga perlakuannya agar tidak melanggar aturan mainstream yang telah ditetapkan dalam masyarakat sebagai perempuan baik-baik.

Bentuk pengontrolan atas hak-hak individu terutama berkaitan dengan ekspresi seksualitasnya. Kondisi ini menggambarkan adanya biopower dari negara yang didasarkan atas pemikiran nilai-nilai patriarkal, sehingga subjektifitas perempuan berada dalam budaya patriarkal tersebut.


Menjaga Syahwat Lebih Baik

Adanya pertarungan tubuh perempuan yang dikaitkan oleh moral menandakan bahwa negara memposisikan perempuan sebagai salah satu agen satu-satunya dalam negara untuk menjaga moralitas bangsa, padahal moralitas seharusnya dilakukan oleh semua warga negara.

Perempuan dibatasi oleh negara demi menjaga moralitas bangsa, mereka menjadi pihak yang diatur negara agar tidak menimbulkan syahwat dari kaum laki-laki. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan untuk para perempuan. Mereka harus mendapatkan tekanan dalam menjaga tubuhnya sebaik mungkin, walaupun mereka sudah berusaha menjaganya dengan sebaik-baiknya namun jika pihak lawan tidak bisa menahan syahwatnya itu merupakan bentuk kesalahan dari perempuan.

Jika negara menjaga lembaga penjaga moralitas, kenapa tidak sebaiknya mereka membatasi setiap syahwat dari pihak yang bersyahwat dengan perempuan untuk bisa menahan rasa syahwatnya dengan baik. Hal seperti ini merupakan bentuk kontradiksi dari setiap kejadian kekerasan seksual oleh perempuan bisa dilihat dari beberapa kasus perempuan sudah menjaga batasan pakaiannya namun tetap saja menjadi korban kekerasan seksual.

Penjagaan syahwat oleh para penikmat tubuh perempuan sebaiknya dijaga oleh negara agar moralitas bangsa menjadi sepenuhnya tanggung jawab seluruh warga negara baik laki-laki dan perempuan. Adanya sistem yang patriarkal bisa dihapuskan dengan penanaman moralitas kepada para pemilik syahwat besar terhadap tubuh perempuan. Bukan sebatas menjadikan perempuan sebagai kaum minoritas dengan segala kelemahannya.

Postingan Populer